WCR menjadi Tim Fasilitator dalam Peningkatan Kapasitas Penyidik Polri untuk Menangani Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang difasilitasi Teknologi

WCR Indonesia

06 January 2025

Tahukah Kamu tentang Kekerasan Berbasis Gender yang difasilitasi oleh Teknologi atau Technology-Facilitated Gender Based Violence (TF GBV)?

Seiring dengan meningkatnya pemakaian teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari, inovasi ini juga memfasilitasi berbagai bentuk kekerasan berbasis gender yang baru dan beragam. Meskipun bukan sebuah fenomena baru, namun kekerasan yang difasilitasi teknologi terhadap perempuan dan anak perempuan, telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir baik secara global maupun nasional. Berdasarkan temuan the Economist Intelligence Unit, setidaknya terdapat 38% perempuan di dunia telah menjadi korban kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi sedangkan 85% perempuan telah menyaksikan orang lain menjadi korban di dunia maya.

Jenis kekerasan yang dialami biasanya terdiri dari ujaran kebencian, pencurian identitas, peretasan dan penguntitan, upaya terkoordinasi yang secara bersamaan membagikan konten merusak di berbagai platform, doxxing hingga pelecehan berbasis video atau gambar yang tidak diinginkan atau konten eksplisit seksual lainnya. 

Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh United Nations Population Fund (UNFPA) dan University of Melbourne tahun 2023, jenis kekerasan yang difasilitasi teknologi sangat berbahaya dan berpengaruh secara interseksional ke berbagai aspek kehidupan penyintas. Setidaknya terdapat lima aspek yang berdampak yaitu fisik, psikologis, ekonomi, seksual, hingga sosial dan politik. 

Namun, dampak yang nyata dan terus meningkat signifikan ini tidak disertai dukungan penuh dari pembuat kebijakan, legislator, masyarakat luas hingga organisasi lainnya. Maka dari itu, pada tahun 2022, United Nations mulai melakukan kampanye untuk membuat sebuah resolusi darurat dalam mengentaskan kekerasan berbasis teknologi ini. Terbaru, pada Juli 2024, Human Rights Council juga sudah mengeluarkan resolusi (A/HRC/56/L.15) untuk menyiapkan studi tentang fenomena ini, melihat praktik baik, membuat rekomendasi hingga menyerukan kolaborasi antar aktor yang perlu diperkuat. 

Kolaborasi Masyarakat Sipil, Institusi Internasional dan Penegak Hukum dalam Memerangi Kekerasan Berbasis Gender yang difasilitasi Teknologi

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, sejak Mei 2022 – December 2023 terdapat 2.766 kasus kekerasan berbasis gender yang difasilitasi atau dilakukan secara online. Sedangkan data aduan yang diterima oleh lembaga SAFEnet sejak Januari – September 2024 sudah ada setidaknya 1.544 kasus ditangani. WCR Indonesia percaya bahwa dengan minimnya edukasi digital serta sosialisasi tentang jenis-jenis kekerasan ini, angka kasus pasti lebih besar daripada yang dilaporkan. 

Melalui disahkannya UU TPKS serta secara resmi dibentuknya Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan Anak (PPA) dan Pidana Perdagangan Orang (PPO) di Bareskrim Polri, kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi kemudian dapat diakui sebagai kejahatan pidana dan penyintas dapat mengakses berbagai layanan yang disediakan. 

Namun, kelompok masyarakat sipil masih cemas akan kapasitas sumber daya manusia dari lembaga layanan hingga penegak hukum yang masih rendah. Padahal, mereka yang akan menjadi garda terdepan saat para penyintas mengakses bantuan. Bahkan, hasil riset dan wawancara WCR Indonesia juga menyatakan bahwa para penegak hukum mengakui masih mengalami tantangan besar dalam membuat pelatihan yang dibutuhkan. 

Sebagai bentuk inisiatif proyek global untuk meningkatkan kapasitas polisi dalam memerangi kekerasan berbasis gender di ranah digital, UNDP Seoul Policy Center (USPC) bekerja sama dengan Korean National Police Agency (KNPA) melakukan kegiatan pelatihan bersama polisi dari Indonesia dan Pantai Gading. Melalui jejaring yang dimiliki WCR Indonesia dengan kepolisian dan UNDP Indonesia, kami akhirnya dipilih untuk memfasilitasi pelatihan tersebut yang dihadiri oleh para penyidik Polri dari Unit PPA dan Siber di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Pelatihan Polisi dalam Memerangi Kekerasan Berbasis Gender: KNPA x Polda Metro Jaya (Bagian I)

Tahapan Pelatihan untuk Pelatih yang pertama diadakan pada 28-30 Mei 2024 secara hybrid dengan USPC dan KNPA. Kali ini, partisipan masih terdiri dari penyidik senior dan yang terpilih dari Unit PPA, Unit Siber dan beberapa unit terkait lainnya di area Jakarta berjumlah 23 orang. Sesi pelatihan ini juga dibuka langsung oleh Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Wira Satya Triputra.

Selama tiga hari, para peserta secara intensif berdiskusi dengan para ahli dari Indonesia, mulai dari dokter forensik, LPSK, UPTD PPA hingga psikolog untuk merumuskan kembali kebutuhan dasar penting bagi kapasitas penegak hukum. Sedangkan sesi berikutnya adalah webinar dengan KNPA yang membahas tentang praktik baik kepolisian Korea Selatan dalam sistem legislasi nasional yang melindungi korban, kurikulum pelatihan polisi, mereformasi organisasinya untuk lebih responsif hingga membuat rencana pelatihan selanjutnya di Indonesia.

Beberapa narasumber terdiri dari: Sri Nurherwati (Wakil Ketua LPSK), Dr. Rita Wulandari (Bareskrim Polri), AKBP Ida Bagus Gede Adi Putra Yadnya (Psikolog Polri), dr. Boge Priyo Nugroho (Dokter Forensik Koordinator Tim PPT Bunga Tanjung RSUD Tarakan), Noridha Weningsari (UPTD PPA), Sungnam Jung (Investigator/Professor, Women's and Juvenile Affairs Division, Korean Police Investigation Academy), Yuncheng Chan (Senior Inspector/Team Lead, Investigation and Legal Support Team at KNPA), Min Gyu Kang (Korean Police Investigation

Pelatihan Polisi dalam Memerangi Kekerasan Berbasis Gender: KNPA x Lemdiklat Polri (Bagian II)

Tahapan pelatihan selanjutnya diadakan pada 20-22 Agustus 2024 secara luring di Lemdiklat Polri, Jakarta. Delegasi dari USPC dan KNPA kali ini hadir langsung ke Jakarta dengan tujuan untuk membantu Indonesia dalam meningkatkan kemampuan mereka dalam mencegah dan menanggulangi TF GBV serta untuk membangun lingkungan kebijakan yang mempromosikan perlindungan korban kekerasan tersebut. Pelatihan ini dibuka langsung oleh Kepala Lemdiklat Polri Komjen Pol Dr. Purwadi Arianto, M.Si. dan Head of Democratic Governance and Poverty Reduction UNDP Indonesia, Bapak Siprianus Bate-Soro. 

Pelatihan kedua ini telah memberdayakan banyak pejabat penting serta penyidik terkait yang lebih banyak sekitar 100 orang dari berbagai daerah, bukan hanya Jakarta saja. Program yang lebih intensif ini dilakukan dengan tujuan lainnya untuk menyebarkan pengetahuan yang lebih luas dan fleksibel lewat metode hybrid serta belajar langsung dari para profesional di KNPA. 

Topik-topik yang dibahas kali ini terdiri dari pembelajaran secara teori dan praktek seperti mekanisme perlindungan yang berfokus pada penyintas, pelaporan dan respon polisi yang pro penyintas, teknik investigasi siber dalam kasus TF GBV serta refleksi praktik baik dari Korea Selatan dan Indonesia. 

Beberapa narasumber yang berbicara yaitu: Yuncheng Chang (Senior Inspector/Team Lead, Investigation and Legal Support Team, Gyeonggi Northeastern Sunflower Center and UNDP Digital Sex Crimes Consultant), Sungnam Jung (Professor/Investigator, Police Science Department, Korean National Police University and UNDP Digital Sex Crimes Consultant), Min Gyu Kang (Korean Police Investigation Academy), Kombes Pol Jeffri Dian Juniarta (Kasubdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri) dan Kombes Pol. Enggar Pareanom (Kasubdit V Dittipdum Bareskrim Polri).

Refleksi Kritis

  • Belajar dari kerja-kerja KNPA, polisi perlu bekerja secara profesional yang diraih dari berbagai pelatihan dan sekolah serta dan tidak takut untuk mengevaluasi kinerja institusinya sendiri, apalagi jika ada kesalahan hingga kegagalan dalam merespon kasus besar. 
  • Belajar dari mekanisme kerja yang responsif terhadap kasus kekerasan berbasis gender di Korea Selatan, pemerintahnya memiliki sistem kerja yang mengharuskan seluruh stakeholder yang bekerja untuk penyintas dan penyelesaian kasus berada dalam satu ruangan yang sama agar dapat berkoordinasi lebih efektif. Misalnya seperti perusahaan telekomunikasi (Kakao Talk), kementerian terkait (Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak serta Kementerian Komunikasi dan Digital), kelompok masyarakat sipil, rumah sakit, polisi dan berbagai institusi yang dibutuhkan. Saat ini, pemerintah Korea Selatan juga sudah memiliki Korea Communications Standards Commission untuk menjadi tim dukungan yang bisa menerima permintaan penghapusan konten serta kebutuhan yang berkaitan dengan teknologi lainnya. 
  •  Artificial Intelligence (AI) digunakan secara positif dan dikembangkan berdasarkan kebutuhan kapasitas pengada layanan dan penegak hukum, tidak terkecuali kepolisian. Misalnya, saat ini KNPA memiliki fitur PolBot untuk memudahkan para penyintas melaporkan kasus kekerasannya tanpa harus ke kantor polisi. Hal ini akan menghemat waktu dan energi teman-teman penyintas serta penyidik dalam menyelesaikan kasusnya. 
  • Indonesia perlu mengadopsi praktik-praktik baik KNPA dan di lokalisasi sesuai dengan kebutuhan di setiap daerah. Hal ini sangat penting karena implementasi UU TPKS sedang berjalan, begitu juga pembentukan Direktorat PPA-PPO yang baru saja diresmikan. 
  • Selain itu, kinerja penegak hukum serta berbagai stakeholder pelayanan korban kekerasan juga perlu ditingkatkan, khususnya dalam menghadapi kekerasan yang difasilitasi teknologi. Kasus-kasus di lapangan sudah sangat berkembang jauh, namun sumber daya manusianya masih terbatas. Tantangan ini perlu juga direspon dengan cepat oleh pemerintah agar kedepannya kita bisa mencegah kekerasan dengan cara yang lebih tepat. 

Lihat Lebih Lanjut:

Rilis Pers UNDP Indonesia

Rilis Pers Lemdiklat Polri

Rilis Pers USPC - KNPA

REFERENSI

Komnas Perempuan (2024). “Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peluncuran Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2023.”

Q3 Strategy - Rutgers International (2024). “Executive Summary Decoding Technology-Facilitated Gender-Based Violence.” 

SAFEnet (2024). “Laporan Pemantauan Hak-hak Digital di Indonesia Periode Januari-Maret 2024.” 

SAFEnet (2024). “Laporan Pemantauan Hak-hak Digital di Indonesia Periode April-Juni 2024.” 

SAFEnet (2024). “Laporan Pemantauan Hak-hak Digital di Indonesia Periode Juli-September 2024.”

UN Women (2024). “FAQs: Trolling, stalking, doxing and other forms of violence against 

women in the digital age.” 

UN Women (2024). “Repository of UN Women’s Work on Technology-Facilitated Gender-Based Violence (October 2024).” 

University of Melbourne - United Nations Population Fund (2023). “Measuring technology-facilitated gender-based violence. A discussion paper.”

United Nations Development Programme (UNDP) (2024). “Analysis of Technology-Facilitated Gender-Based Violence.” 

Ditulis oleh: Selina Prameswari